Photo Cube Generator, Picture Cube - Satisfaction

Photo Cube Generator, Picture Cube - Satisfaction

Soft Drink Bikin Ompong


sebuah penelitian menyebutkan jika sering meminum soft drink bisa menyebabkan ompong. pasalnya minuman ini mengandung bahan yang disebut asam fosfor yang membuat suara berdesis. bahan ini menghambat penyerapan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan tulang. jika mengkonsumsi sedikitnya dua kaleng dalam sehari sebaiknya waspada, karena ketika memasuki usia  ± 50 tahun akan terkena penyakit Osteoporosis. 

See Thank You Picture Comment

See Thank You Picture Comment

Wanita....

Tidak mudah menjadi wanita
Namun bukan berarti sulit memerankan diri sebagai wanita         
       Menjadi seorang wanita adalah karunia                                    
       Menjadi seorang wanita adalah surga
       Menjadi seorang wanita adalah bunga
Taman tanpa bunga maka ia padang ilalang
Hutan tanpa bunga maka ia semak belukar
                     Dunia tanpa wanita maka ia angkara murka.
              Tidak mudah menjadi seorang wanita, namun jika ia mensyukurinya
              Maka alam akan bertekuk lutut padanya… (Muslimah)

Wahai wanita Muslimah…
Wanita itu punya perasaan yang sangat kuat,bahkan untuk mengagumi atau bahkan mencintai lawan jenisnya.
Tapi…
Bagi wanita muslimah, ketika mencintai seseorang dia akan menangis, Ketika dia merindukan seseorang dia akan menangis, katika dia mengingat seseorang dia akan menangis. Dia berusaha mencoba menghindarinya, bahkan dia akan melupakannya. dia lakukan itu semua untuk menjaga iffahnya sebagai seorang muslimah. Semua itu karena dia lebih cinta kepada Robbnya, melebihi apapun yang ada di dunia ini.
            Pantaskah bagi para muslimah merindukan, memikirkan dan menciptakan angan-angan kepada lawan jenisnya…
Wahai wanita…
“Setiap wanita merasa khawatir akan hari kemudiannya sampai ia menemukan jodohnya”
Apakah karena hal itu para wanita seakan merendahkan diri mereka, dengan mengenakan pakaian yang sangat minim dan memperlihatkan kecantikan dan perhiasan mereka agar mereka menjadi pusat perhatian dan disukai banyak orang Karena penampilan mereka ? yang semestinya perhiasan itu mereka tutup dengan sangat rapat. Mereka beranggapan bahwa hari kemudian mereka tidak akan mengkhawatirkan jika mereka berpenampilan seperti itu…
Mereka salah !
Sesungguhnya…
"Kecantikan Abadi "  adalah  " Kecantikan Hati ".... cantik ini tidak akan lekang oleh waktu, tidak akan luntur dimakan massa,  dan tidak akan keriput di jarah usia... Demikian juga himpitan hidup,  dan dinamika kehidupan  tidak akan  memudarkannya. Malah akan mematangkannya dan memancarkan kecantikannya  yg lebih dalam ..
kecantikan  hakiki seorang wanita adalah kecantikan batinnya, Yaitu :
-  Mencintai Allah dan RasulNya.
-  Menutup auratnya.
-  Beribadah mengerjakan amalan yang wajib dan amalan sunnah.
-  Senantiasa berdzikir kepada Allah, setiap saat baik fikiran, hati dan lisannya
-  Bergaul dengan orang-orang Sholeh
-  Merasa diawasi Allah
-  Mengendalikan  hawa nafsunya.

Wahai wanita muslimah…
Milikilah daya pikat agar pria sholeh terikat.
Daya Pikat Wanita adalah pesona inner beauty dari wanita itu sendiri.
Dari sekian banyak daya  pikat wanita ada 3 point yang paling populer.
Daya pikat ini pun  akan memudar , habis dan menghilang,  bila tidak di bangun , dipelihara dan dibingkai dengan iman.
1.  Kecantikannya
2.  Kekayaannya
3.  Kekuatannya 
   
kecantikan   wanita adalah kelembutannya hatinya, tutur katanya dan sikapnya. tapi ia begitu cekatan  dan sigap dalam berbagai dinamika nuansa   kehidupannya. Dan  kekayaan  wanita  adalah  kecerdasannya  dan keluasan ilmunya, yang melahirkan keraifannya dan kematangan jiwa dalam mewarnai  langkah kehidupannya, yang berujung pada ketawadhuannya. Dan Kekuatan wanita adalah keikhlasaannya, ketulusannya, juga ketegarannya menjalani  berbagai   gelora kehidupan, menjalani amanah-amanah mulia hidupnya: menjadi  putri yang sholehah atas ayah bundanya, menjadi pasangan yang menentramkan  belahan jiwanya, menjadi bunda yang bijak atas buah hatinya, dan menjadi menantu yang membanggakan, juga menjadi teman, sahabat dan suadara yang menyenangkan....  

Semua itu terjadi .....bila  ilmu, iman,  dan taqwa menjadi framenya. Dan mereka yang memakai kacamata iman dan taqwa pulalah yang  akan  melihat, menemukan  dan merasakannya.
Ahhh...... Semoga  kita para muslimah memiliki  daya pikat indah itu, semoga kita mengikat dan mematrinya  dalam diri. Karena kita hanya ingin memikat  orang-orang yang memilki iman dan taqwa juga.

Semoga kita bisa belajar kepada Bunda khodijah tentang kelembutan, kepada Siti Aisyah  tentang kecerdasan , kepada  Siti Hajar  tentang kesabarannya, dan  kepada Ummu-ummu  lainnya  istri Rasul maupun para sohabiyah ...

Walo tentu diantara kita  tak ada yang sempurna, tapi  kita bisa mencoba dan berusaha bergerak ke arah sana... menjadi muslimah  yang memiliki daya pikat abadi...
Semoga ....... ^_^


                                                                                                                                                                                                       
فتري رزقيه





"Lelaki yang gelisah (kisah yang menyentuh)"


Bismillaahirrahmaanirrahiim
Rasanya ini baik untuk direnungkan setiap kita yang merasa "berkecukupan" dan selalu "dimanja" oleh Tuhan.
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
* * *
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini: "Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya. Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.